CYBERBULLYING merupakan istilah saat seorang anak atau remaja mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan oleh seorang anak atau sekelompok remaja, melalui penggunaan internet (digital interaktif maupun perangkat mobile). Bentuk perlakuannya antara lain dihina, diancam, dipermalukan, disiksa, atau dijadikan target bulan- bulanan.
Istilah Cyberbullying tidak digunakan bila ada keterlibatan orang dewasa, dan disebut sebagai cyber harassment atau cyber stalking. Istilah cyberbullying juga sering disamakan cyberteasing, cyber-arguing, atau cyberfighting. Bentuk dari cyberbullying umumnya terjadi secara berulang kali, walau tidak menutup kemungkinan suatu komunikasi satu kali merupakan cyberbullying. terutama jika berbentuk ancaman serius pada keselamatan orang. Sering kali digambarkan bahwa cyberbullying juga melibatkan korban yang biasanya anak yang “pemalu”, “aneh”, “kecil”, atau lainnya.
Metode cyberbullying dapat berupa direct attacks, yaitu pesan yang tidak menyenangkan dikirimkan secara langsung ke anak. Posted and public attacks adalah pesan yang dirancang untuk mempermalukan target, dilakukan dengan mem-posting atau menyebarkan berita, pesan, atau gambar yang dapat mempermalukan anak ke public.
Sementara itu, cyberbullying by proxy merupakan bentuk yang memanfaatkan orang lain untuk membantu mengganggu korban, baik disadari ataupun tidak disadari. Bentuk cyberbullying berdasarkan data di Indonesia adalah ejekan, olok- olok, makian (52 persen); fitnah atau gossip (30,3 persen); penyebaran foto/gambar/video (9,6 persen); dan pengiriman materi pornografi ( 3 persen). Alasan remaja melakukan cyberbullying cukup beragam, 49 persen karena iseng, 36 persen karena jengkel dan benci, 7 persen karena balas dendam, dan 4 persen karena ikut-ikutan.
Dampak cyberbullying sering kali lebih berat dari bullying. Pasalnya, hanya dengan melakukan “klik”, serangan kata-kata ataupun fitnah dapat menyebar dengan cepat. Pengirim juga dapat mengunggah foto atau gambar yang membuat korban tidak nyaman. Sexting juga dapat berupa cyberbullying saat pelaku dapat mengirimkan foto, gambar, pesan yang berkesan seksual melalui telepon, computer, atau alat digital lainnya. Selain itu, anonimitas pengirim dapat menyulitkan usaha untuk mencari siapa pelaku sebenernya. Pengirim dapat menggunakan nama palsu saat ia melakukan serangan kepada korban. Ini membuat sulit menghentikan aksi cyberbullying
Anak korban cyberbullying biasanya mengalami ketakutan untuk bertemu dengan teman, pergi ke sekolah, dan bahkan untuk membicarakan masalahnya dengan orang tua. Dampak jangka panjang cukup serius, antara lain depresi, menyakiti diri sendiri, menarik diri dari pertemanan, hingga bunuh diri. Dampak lain yang mungkin terjadi seperti sperti menurunnya rasa percaya diri, kegagalan di sekolah, merusak emosi dan psikologis, kesedihan mendalam dan frustasi. Korban juga dapat mengalami gangguan tidur dan makan, menutup diri dari pergaulan, dan lainnya.
Sebagai upaya pencegahan dampak negatif dunia digital, sebaiknya usia minimal anak yang ingin menggunakan atau memiliki akun di media sosial adalah 13 tahun. Ini didasarkan pada hasil dari Congress in the Children’s Online Privacy Protection Act (COPPA) yang melarang website mendapatkan informasi dari anak usia di bawah 13 tahun tanpa izin orangtua. Usia 13 tahun digunakan telah digunakan oleh berbagai situs web global sebagai usia minimum, seperti pada Facebook dan Myspace.
Orangtua sebaiknya tidak memberikan akses internet atau televisi di kamar tidur anak, ikut memilih program ataupun media sosial yang sesuai dengan anak. Penggunaan internet, televisi, atau alat digital lain sebaiknya dibatasi tidak lebih dari 2 jam per hari. Orangtua dan guru perlu melakukan edukasi mengenai bahaya cyberbullying. Komunikasi antara orangtua dan anak atau guru dan anak dapat membantu menyelesaikan masalah bila terjadi cyberbullying.
Penulis: Dr.Bernie E.Medise,Sp.A(K),MPH
Ikatan Dokter Anak Indonesia
Artikel pernah dimuat pada Kolom Klasika, KOMPAS, pada tanggal 19 Juni 2016