Mencermati Ciri Khas Pendidikan Katolik

MEMPRIHATINKAN memang membaca sebuah artikel tulisan seorang milister di sebuah milis jaringan pendidikan katolik.  Saya meyakini apa yang ditulis dalam dokumen Konsili Vatikan II tentang Pendidikan, bahwa pendidikan adalah sarana strategis pewartaan iman (Loh.  Gravissimum Educationes GE. 8).

Adapun ciri khas sekolah katolik antara lain:

  • Menciptakan lingkungan hidup bersama di sekolah yang dijiwai oleh semangat Injil, kebebasan dan cinta kasih;
  • Membantu kaum muda supaya dalam mengembangkan kepribadian mereka sekaligus berkembang ciptaan baru; sebab itulah, mereka menerima baptis;
  • Mengarahkan seluruh kebudayaan manusia akhirnya kepada pewartaan keselamatan, sehingga pengetahuan yang secara berangsur-angsur diperoleh para siswa tentang dunia, kehidupan dan manusia disinari oleh terang iman.
  • Demikian sekolah Katolik, sementara sebagaimana seharusnya membuka diri bagi kemajuan dunia modern, mendidik para siswanya untuk dengan tepat guna mengembangkan kesejahteraan masyarakat dunia, serta menyiapkan mereka untuk pengabdian demi meluasnya Kerajaan Allah, sehingga dengan memberi teladan hidup merasul mereka menjadi bagaikan ragi keselamatan bagi masyarakat luas.

Pernyataan ini telah terbukti dalam sejarah pendidikan Katolik dalam Gereja di Indonesia dimana perkembangan Gereja Katolik tidak dapat dipisahkan dengan adanya sekolah-sekolah Katolik. Banyak baptisan-baptisan baru dan tokoh-tokoh Katolik militan berasal dari sekolah-sekolah Katolik.

Namun kenyataan sekarang sungguh memprihatinkan.

Sekolah-sekolah Katolik sudah banyak yang harus tutup karena berbagai alasan. Ambil contoh sekolah-sekolah Kanisius di Jawa Tengah dan DIY, juga beberapa sekolah Katolik lain. Dulu sekali, sekolah-sekola katolik ini pernah menjadi kebanggaan Gereja. Namun sekarang, baik dari segi jumlah maupun kualitasnya, sekolah-sekolah ini sudah tidak lagi moncer di kancah perbincangan Gereja.

Banyak ditutup

Dalam beberapa tahun terakhir paling tidak tiga sekolah Katolik di Magelang (SMP St. Maria, SMP Kanisius Mertoyudan, dan SMP Kanisius Secang) yang kabarnya harus menerima nasih yakni ditutup karena tidak ada murid. Sementara sekolah Katolik yang ada rasanya berjalan tertatih-tatih untuk bersaing dengan sekolah-sekolah baru yang bermunculuan terutama di kota-kota besar.

Tidak dipungkiri bahwa masih ada beberapa gelintir sekolah katolik yang masih sangat eksis seperti SMP-SMA  Kanisius Jakarta,  satu SD Kanisius di Yogyakarta, SMA Loyola,  de Brito,  beberapa sekolah asuhan para Suster Ursulin dan beberapa sekolah Katolik lain. Mereka masih eksis, namun jumlah muridnya sudah semakin berkurang.

Mencermati dan merenungi kondisi demikian dan sekaligus menanggapi tulisan seorang milister,  saya memiliki pemikiran/usulan:

  • Mungkinkah Gereja dalam hal ini mungkin Komdik dapat mengumpulkan para tokoh Katolik yang ahli dalam pendidikan maupun orang-orang Katolik yang memiliki perhatian tinggi terhadap sekolah Katolik untuk dijadikan think thank nya pendidikan katolik?;
  • Apakah Gereja dapat mengusahakan beasiswa bagi generasi muda Katolik yang memiliki potensi untuk diberi beasiswa untuk disiapkan sebagai tenaga-tenaga di bidang kependidikan yang handal sehingga nantinya dapat membantu sekolah-sekolah katolik yang ada dibawah naungan gereja.

Usulan pertama mungkin dapat dimulai dalam lingkup kecil di Jakarta terlebih dahulu, kemudian baru meluas ke daerah-daerah lain. Kita mungkin dapat mencontoh ICMI yang dimiliki oleh saudara-saudara kita Muslim yang dapat menjadi think thank nya pendidikan Islam. Saya pernah mendengar saudara-saudara kita muslim setiap tahun memberi beasiswa 10 orang untuk menjadi kader-kader muslim yang andal, apakah Gereja kita dapat juga melakukan hal demikian?

Related Posts

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
0FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
spot_img

Recent Stories